Ket: Tim Advokasi Lejeste, Alvian Pratama
MMI-Fenomena penggunaan ijazah palsu untuk mendapatkan posisi jabatan publik di Kota Palopo, Sulawesi Selatan menarik perhatian masyarakat, akademisi, dan aktivis. Fenomena ini menjadi sorotan nasional Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Putusan Perkara Nomor 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Walikota Kota Palopo Tahun 2024, di Ruang Sidang Pleno MK pada senin 24/2/2025.
Kasus yang menjadi pusat perhatian publik tersebut di soroti oleh Alvian Pratama yang merupakan Tim Advokasi Law Enforcement and Justice Observer Institute (LEJESTE).
Menurutnya Kasus tersebut harus segera diproses dengan karena kasus Ini juga menyeret tiga Komisioner KPU Kota Palopo.
"Kasus ini tentu saja berdampak pada persepsi negatif masyarakat terhadap penyelenggara pemilu. Bagaimana mungkin penyelenggara pemilu meloloskan salah satu Cawalkot yang telah diketahui memalsukan ijazah. Ini menjadi tugas yang sangat serius Aparat Penegak Hukum untuk mengungkap keterlibatan Komisioner KPU yang membuat Trisal Tahir berstatus memenuhi Syarat Pada penyelenggaraan pemilu 2024 di kota Palopo," kata dia, Senin (17/3).
Menurut Alvian, Putusan Mahkamah Konstitusi pada Perkara Nomor 168 PHPU.WAKO-XXIII/2025 sudah sangat kuat menjadi acuan penyidik untuk segera melimpahkan kasus dugaan penggunaan ijazah palsu tersebut ke Kejaksaan.
"Yang saya ketahui DKPP telah menindak pelanggaran kode etik tiga Komisioner KPU Kota Palopo, dan Sentra GAKKUMDU telah menindaklanjuti temuan Bawaslu tersebut Sehingga Kasus ini telah ditangani oleh Penyidik Polresta Palopo," ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kasus Trisal Tahir dan Tiga Komisioner KPU Kota Palopo bukan hanya melanggar ketentuan Pasal Pasal 180 ayat 2 undang-Undang No. 10 Tahun 2016 dan 184 Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota namun yang paling terpenting pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bukan hanya Pemungutan Suara Ulang namun juga merupakan perbuatan yang memenuhi unsur pidana
"Kita jangan hanya terfokus pada pemungutan suara ulang, dan pelanggaran undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati, dan Walikota tapi yang paling terpenting adalah Penyidik harus menelusuri penggunaan ijazah palsu tersebut. Apalagi penyidik bisa memperkuat buktinya dengan berdasar pada Putusan MK. Jadi kalau kita mengacu pada KUHP Baru, Trisal Tahir juga dapat di jerat Pasal Pasal 272 ayat (1), atau Pasal 263 ayat (1) KUHP. Ancaman pidananya juga sudah di atas 5 tahun jadi penyidik juga bisa melakukan penahanan jika perlu," tegasnya.
Menurutnya kasus yang menjerat Peraih suara terbanyak pada Pilwalkot Palopo dan Komisioner KPU tersebut merupakan kasus yang besar karena melibatkan politisi yang kuat sehingga berpotensi terjadi Obstruction Of Justice pada Perkara tersebut.
"Yah, sudah menjadi rahasia umum Bahwa Kasus yang melibatkan politisi biasanya lamban di tahap Lidik dan sidik, apalagi sampai pelimpahan kekejaksaan. Apalagi Sentra GAKKUMDU kan adalah gabungan dari kepolisian dan kejaksaan. Saya juga menduga ada upaya menghalang-halangi proses penyidikan dalam kasus ini," jelas dia.
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Alauddin ini meminta Polda Sulsel untuk mengambil Alih dan mendalami Perkara Penggunaan Ijazah Palsu tersebut.
"Kasus ini memang harus di tangani oleh Polda Sulsel Karena kasus yang melibatkan politisi yang mempunyai basis massa pasti bisa saja bergulir begitu lama karena tekanan dari berbagai pihak, Kedua berpotensi memunculkan riak dari simpatisan masing-masing pasangan calon di kota Palopo. Ketiga, Secara Kompetensi dan Sumber Daya Polda Sulsel juga lebih mumpuni untuk menyelesaikan kasus tersebut sampai tuntas," pungkasnya.
Dilain sisi, dari informasi yang dihimpun Konotasi, kasus pemalsuan ijazah tersebut telah ditutup oleh Polres Palopo.
Sampai berita ini diterbitkan belum ada konfirmasi dari Mapolres Palopo.
0 Comments